Anak di luar nikah yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan.. dapatkan kumpulan dp bbm, klik disini
I. UMUM :
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :
1. menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;
2.memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;
3. memutus pembubaran partai politik;
4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
II. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor 46/PUU-VIII/2010, Tanggal 13 Februari 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :
1. perorangan warga Negara Indonesia;
2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
3. badan hukum public atau privat; atau
4. lembaga Negara
Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :
1. kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003
2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Pemohon mengajukan uji materiil terhadap
:
UUD 1945
|
UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan
|
Pasal 28 B ayat 1
“ Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “
|
Pasal 2 ayat 2
“ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku “
|
Pasal 28 B ayat 2
“ Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi “
|
Pasal 43 ayat 1
“ Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
“
|
Pasal 28 D ayat 1
“ Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum “
|
Mahkamah Konstitusi memberikan putusan
mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Pasal 2 ayat 2 UU
Perkawinan tidak dikabulkan sebab perkawinan yang dicatatkan adalah untuk
mencapai tertib administrasi.
Pencatatan secara administratif yang
dilakukan Negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting
dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi
terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan
dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan
pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan
dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya
bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan
dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses
pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak,
seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang
mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik
maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang.
Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila
dibandingkan adanya akta otentik sebagai bukti.
Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan
karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian
adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak
yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka
yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak
tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia
(KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di Indonesia tidak memiliki akta
kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan tidak sah atau
tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak
dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK
beberapa waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak
diluar pernikahan sah dalam UU perkawinan.
Menurut ketua Komnas perlindungan Anak
Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah
Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya
advokasi bagi anak-anak diluar pernikahan yang sah untuk memperoleh hak
keperdataannya.
“Jadi putusan MK kemarin memberikan hak
keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu
tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan
“hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan
anaknya. Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam
bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara,
tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak
konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan
konstitusional”.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar
Shihab juga menyambut baik putusan MK ini, menurut Umar, putusan ini bisa
menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan sengketa anak.
Berdasarkan uraian ini Pasal 43 ayat 1
UU Perkawinan ini harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. “
Bagaimana tindakan notaris apabila ada
anak luar kawin/kuasa/walinya tersebut minta dibuatkan akta keterangan waris
sementara ada penyangkalan dari ahli waris yang sah?
Dari sisi praktisi notaris yang
berwenang untuk membuat suatu keterangan waris, hal ini agak merepotkan, karena
untuk membuat suatu keterangan waris diharuskan untuk menerima bukti-bukti
otentik berupa akta kelahiran yang menyatakan bahwa anak tersebut merupakan
anak sah dari hasil perkawinan kedua orangtuanya. Ada kekhawatiran dalam
praktik di masyarakat, tiba-tiba akan bermunculan berbagai kasus sehubungan
dengan adanya tuntutan dari anak-anak luar kawin yang tidak/belum pernah diakui
oleh pewaris, yang menuntut bagian dari warisan tersebut.
Berdasarkan KUH Perdata dan UU
Perkawinan
|
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
|
Surat Keterangan Hak Waris biasanya
dibuat oleh Notaris yang berisikan keterangan mengenai pewaris, para ahli
waris dan bagian-bagian yang menjadi hak para ahli waris berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Anak Luar Kawin dalam BW dan KUH
Perdata bisa mendapat bagian waris melalui proses pengakuan yang ditetapkan
oleh pengadilan. Walaupun dengan adanya perbuatan hukum pengakuan ini sang
anak maksimal mendapat 1/3 bagian waris.
Ketika pewaris meninggal, timbulah
warisan dan ahli waris. Keberadaan anak luar kawin yang sudah ditetapkan
pengadilan tetap akan mendapatkan bagian waris. Apabila ahli waris lain
menolak, nama sang ahli waris ( anak luar kawin yang mendapatkan pengakuan )
sudah tercatat dan harus dimasukkan dalam surat keterangan waris.
Notaris akan mengecek terlebih dahulu
berapa jumlah ahli waris yang tercatat oleh Negara. Dengan demikian jika ahli
waris di luar anak luar kawin yang mendapat pengakuan menyangkal, surat
keterangan waris tidak dapat dibuat.
|
Anak luar kawin berdasarkan putusan MK
ini dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan jika anak memiliki hubungan
darah dengan ayahnya.
Jika ia terbukti berdasarkan ilmu
pengetahuan merupakan anak pewaris maka anak tersebut mempunyai hak waris
yang sama besarnya dengan ahli waris lainnya.
Peraturan pelaksana putusan MK ini
belum ada sehingga masih terdapat kekosongan hukum bagaimana anak luar kawin
mendapat jaminan ia akan mendapatkan warisannya.
Kemajuan yang dibuat putusan MK ini
setelah dilakukannya pembuktian melalui ilmu pengetahuan ahli waris lain
tidak dapat menyangkal keberadaan anak luar kawin ini. Karena secara ilmu
pengetahuan anak luar kawin ini adalah anak dari pewaris.
Surat keterangan waris dapat dibuat
namun dapat terjadi permasalahan dalam administrasi pengurusan surat
keterangan waris.
|
III. PEMBAHASAN
A. Anak Luar Kawin Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
Anak luar kawin yang diakui secara sah
adalah salah satu ahli waris menurut undang-undang yang diatur dalam KUHPerdata
berdasarkan Pasal 280 jo Pasal 863 KUHPerdata. Anak luar kawin yang berhak
mewaris tersebut merupakan anak luar kawin dalam arti Sempit, mengingat doktrin
mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu anak luar kawin,
anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan yang diberikan oleh
pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283 KUHPerdata (tentang anak zina dan
sumbang). Anak luar kawin yang berhak mewaris adalah sesuai dengan
pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pembagian seperti tersebut dilakukan,
karena undang-undang sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang
memberikan akibat hukum lain-lain (sendiri-sendiri) atas status anak-anak
seperti tersebut di atas. Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga
merupakan anak luar kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan
dengan Pasal 280 dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin
menurut Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal
283 adalah berbeda.
Demikian pula berdasarkan ketentuan
Pasal 283, dihubungkan dengan Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda
dengan anak sumbang dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang
dalarn keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang
dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat (2)
KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka menjadi anak sah
(Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak diberikan untuk anak
zina.
Perbedaan antara anak luar kawin dan
anak zina terletak pada saat pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan
kehamilan, yaitu apakah pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya
laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam
ikatan perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak
itu lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari
hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana
salah satu atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak
sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang
ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).
Dengan demikian anak luar kawin dalam
arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan
dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang
demikianlah yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata).
Hubungan antara ibu dan anak terjadi
dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak
zinah). Antara ayah dan anak hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan
(Pasal 280 KUHPerdata).
Pasal 280 KUHPerdata, yang mengatakan;
bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak luar kawin,
timbullah hubungan perdata antara anak dan bapak atau ibunya. Hal ini berarti,
bahwa antara anak luar kawin dan "ayah" (biologisnya) maupun
"ibunya" pada asasnya tidak ada hubungan hukum. hubungan hukum itu
baru ada kalau "ayah" dan atau "ibunya"memberikan
pengakuan, bahwa anak itu adalah anaknya. Dengan demikian, tanpa pengakuan dari
ayah dan atau ibunya, pada asasnya anak itu bukan anak siapa-siapa. Ia tidak
mempunyai hubungan hukum dengan siapa pun.
Kalau kita melihat prinsip seperti
tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa hubungan hukum antara orang-tua
dan anaknya yang sah didasarkan atas adanya hubungan darah antara keduanya.
akan tetapi, kalau kita hubungkan dengan anak luar kawin, hubungan hukum antara
anak luar kawin dan ayah yang mengakuinya, didasarkan atas hubungan darah
melalui suatu pengakuan dengan demikian, hubungan darah dalam hal ini adalah
hubungan darah dalam arti yuridis, bukan dalam arti biologis. Kedudukan anak
luar kawin di dalam hukum secara realitas adalah lebih rendah dibanding dengan
anak sah, dengan pengertian bagian waris yang diterima oleh anak luar kawin
lebih kecil dibandingkan dengan anak sah. Selain hal tersebut, anak sah berada
di bawah kekuasaan orang tua sebagaimana diatur dalam Pasal 299 KUHPerdata,
sedangkan anak luar kawin yang telah diakui secara sah berada di bawah
perwalian sebagaimana diatur dalam Pasal 306 KUHPerdata.
Untuk dapat menjadi seorang ahli waris
KUHPerdata telah menetapkan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata untuk
dapat menjadi ahli waris harus memiliki hubungan darah baik sah atau luar
kawin. Dimungkinkan menjadi ahli waris melalui pemberian melalui surat
wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 874 KUHPerdata.
2. Berdasarkan Pasal 836 KUHPerdata Ahli
waris, harus sudah ada pada saat pewaris meninggal dunia. Namun, ketentuan ini
disimpangi oleh Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
kepentingan si anak menghendakinya.
Ketentuan Pasal 832 KUHPerdata
memperjelas kedudukan masing-masing ahli waris harus didasari oleh suatu
hubungan darah baik sah maupun luar kawin. Dalam hal ini, perlu diidentifikasi
lebih lanjut tentang kedudukan anak-anak pewaris sebagai ahli waris. Mengingat
dalam suatu pewarisan menurut KUHPerdata dikenal anak luar kawin baik yang
diakui secara sah maupun tidak. KUHPerdata tidak menjelaskan lebih lanjut
pengertian yang jelas tentang anak luar kawin. KUHPerdata hanya memberikan
penjelasan tentang pengertian anak sah sebagaimana diatur dalam Pasal 250
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa anak sah adalah setiap anak yang dilahirkan
dan atau dibuahkan dari suatu perkawinan yang sah. Berdasarkan batasan yang
diberikan oleh Pasal 250 KUHPerdata dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disebut
dengan anak luar kawin adalah setiap anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah.
UU No. 1 Tahun 1974 mengatur kedudukan
anak luar kawin dalam Pasal 43, yaitu:
1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya;
2. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas
selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 4
menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai
dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”
Namun, perkawinan tersebut harus
dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Catatan Sipil bagi
yang bukan beragama Islam, karena Pencatatan perkawinan seperti yang
diamanatkan Pasal 2 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan
untuk melindungi warga negara dalam membangun keluarga dan memberikan kepastian
hukum terhadap hak suami, istri, dan anak-anaknya.
UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2
menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat
(1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Walaupun pernikahan siri dianggap sah
secara agama Islam, yaitu adanya ijab dan Kabul serta wali nikah dan pengantin
sudah cukup umur, perkawinan tersebut juga harus sah secara hukum Negara. Tanpa
adanya pencatatan secara hukum Negara, maka anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum merupakan anak sah dari
ayahnya. Akibatnya, si anak hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang
melahirkannya.
Dari lima rukun nikah itu, tak ada
seorang ulama (empat mazhab) yang mengemukakan sebuah pernikahan harus dicatat.
Sebab, tak ada ditemukan dalil dalam Al-Qur’an dan Hadits Sahih yang secara
eksplisit mewajibkan adanya pencatatan nikah. Jadi jika pernikahannya sah
sekalipun tidak tercatat, anaknya tetap dianggap anak sah.
Sebuah Hadits Sahih yang diriwayatkan
Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda, “Anak
hanya bernasab kepada pemilik tempat tidur suami, sedangkan pezina hanya akan
memperoleh sial atau batu hukuman.” Dari hadits itu, dapat dijelaskan
anak juga bernasab (hubungan hukum) dengan lelaki yang memiliki tempat tidur
yang sah. Sebab, ia adalah suami sah dari ibu kandungnya. Sementara, perzinaan
tidak pernah mengakibatkan adanya hubungan nasab anak terhadap bapaknya karena
pezina hanya layak diberi hukuman. Jika pernikahan sah, anak yang dilahirkan bernasab
pada ibu dan bapaknya, kecuali karena perzinahan anak hanya bernasab dengan
ibunya.
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan memberikan definisi bagi anak yang sah yaitu anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan Pasal 250 KUHPerdata
menentukan bahwa tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang
perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan
di atas, keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari
anak-anak, anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya. Berdasarkan kedua ketentuan di atas,
keabsahan suatu perkawinan sangat menentukan kedudukan hukum dari anak-anak.
B. Kedudukan Anak Luar Kawin
Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata,
seorang anak luar kawin akan memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya
apabila telah diakui secara sah. Dengan demikian, apabila seorang anak luar
kawin tidak diakui oleh orang tuanya, maka ia tidak akan memiliki hubungan
keperdataan baik dengan bapak maupun ibu biologisnya.
Namun, menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan kedudukan anak luar kawin demi hukum memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya, sebagaimana diatur dalam Pasal
43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hanya saja,
dalam ayat (2) disebutkan bahwa Kedudukan anak luar kawin tersebut akan diatur
lebih lanjut dalam suatu peraturan pemerintah yang sampai sekarang belum
diundangkan oleh pemerintah.Dengan demikian, berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka berlakulah ketentuan yang lama dalam
hal ini KUHPerdata.
Sehingga kedudukan anak luar kawin
secara hukum setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tetap diperlukan suatu pengakuan untuk menciptakan hubungan
keperdataan antara seorang anak luar kawin dengan orang tuanya.
Pengakuan terhadap anak luar kawin,
dapat dilakukan dengan :
1. Pengakuan sukarela
Pengakuan sukarela yaitu : suatu
pengakuan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara yang ditentukan
undang-undang, bahwa ia adalah bapaknya (ibunya) seorang anak yang telah
dilahirkan di luar perkawinan). Dengan adanya pengakuan, maka timbulah hubungan
Perdata antara si anak dan si bapak (ibu) yang telah mengakuinya sebagaimana
diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Pengakuan sukarela dapat dilakukan
dengan cara-cara yang ditentukan dalam Pasal 281 KUHPerdata, yaitu :
1. Dalam akta kelahiran si anak Menurut
Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata, untuk dapat mengakui seorang anak luar kawin
bapak atau ibunya dan atau kuasanya berdasarkan kuasa otentik harus menghadap
di hadapan pegawai catatan sipil untuk melakukan pengakuan terhadap anak luar
kawin tersebut.
2. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat
pula dilakukan pada saat perkawinan orang tuanya berlangsung yang dimuat dalam
akta perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2). Jo Pasal 272
KUHPerdata. Pengakuan ini akan berakibat si anak luar kawin akan menjadi
seorang anak sah.
3. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat
dilakukan dalam akta oteintik seperti akta notaris sebagaimana diatur dalam
Pasal 281 ayat (1) KUHPerdata.
4. Dengan akta yang dibuat oleh pegawai
catatan sipil, yang dibutuhkan dalam register kelahiran catatan sipil menurut
hari Penanggalannya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (2) KUHPerdata.
1. Pengakuan Paksaan
Pengakuan anak luar kawin dapat pula
terjadi secara paksaan, yakni dapat dilakukan oleh si anak yang lahir di luar
perkawinan itu, dengan cara mengajukan gugatan terhadap bapak atau ibunya
kepada Pengadilan Negeri, agar supaya anak luar kawin dalam arti sempit itu
diakui sebagai anak bapak atau ibunya, ketentuan ini diatur dalam Pasal 287-289
KUHPerdata.
Anak luar kawin yang dapat diakui adalah
anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak
yang tidak terikat perkawinan yang sah baik di antara mereka maupun dengan
orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).
Menurut KUHPerdata ahli waris yang
berhak mewaris dapat dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1.
Golongan I :
Anak, atau keturunannya dan janda/duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di
dalam Pasal 852, 852a, 852b, dan 515 KUHPerdata.
2.
Golongan II :
Orang tua (bapak/ibu), saudara-saudara atau keturunannya, yang jumlah bagiannya
ditetapkan di dalam pasal 854, 855, 856, dan 857 KUHPerdata.
3.
Golongan III
: Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang jumlah
bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
4.
Golongan IV :
Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang jumlah
bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862, 863,
864, 856 dan 866 KUHPerdata.
C. Peran Notaris dalam Pembuatan
Akta Warisan untuk Anak Luar Kawin
Perjanjian-perjanjian yang dapat
digunakan dan dibuat untuk menyelesaikan sengketa waris apabila terdapat anak
luar kawin adalah dengan membuat:
1.
Akta
Pembatalan, merupakan akta yang memuat kesepakatan para ahli waris untuk
membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah pernah dibuat sebelumnya dan untuk
kemudian dibuat Akta Pembagian Waris yang baru, dalam akta ini anak luar kawin
yang dahulu belum masuk sebagai ahli waris, dicantumkan sebagai ahli waris
dengan bagian sesuai yang telah ditentukan oleh undang-undang;
2.
Akta
Perdamaian, akta ini merupakan kesepakatan ahli waris untuk menyelesaikan
sengketa waris dengan cara bermufakatan, dan membagi waris menurut
undang-undang.
3.
Akta
Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan, pembuatan akta ini merupakan solusi dari
sengketa hak waris dalam pewarisan yang di dalamnya terdapat anak luar kawin
yang dahulu pada saat pembuatan Akta Pembagian Waris tidak masuk sebagai ahli
waris dan tidak memperoleh haknya. Akta Perjanjian Pelepasan Hak Tuntutan,
dibuat tanpa membatalkan Akta Pembagian Waris yang telah dibuat, melainkan
dalam akta ini anak luar kawin tersebut membuat pernyataan bahwa ia telah
melepaskan segala haknya atas harta warisan dan tidak akan menuntut ahli waris
lainnya atas harta warisan. Dalam akta ini juga diperjanjikan untuk itu si anak
luar kawin mendapatkan kompensasi dari ahli waris yang lain sesuai dengan
kesepakatan di antara para ahli waris.
IV. Penutup.
Dengan adanya putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar kawin (hasil biologis)
sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan waris dengan bapak
biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan
syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis
berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA. Namun demikian,
apabila ada penyangkalan mengenai anak luar kawin ini dari anak-anak ahli waris
yang sah, menurut saya, maka dalam hal ini tetap perlu dimohonkan Penetapan
Pengadilan mengenai status anak luar kawin tersebut sebagai ahli waris yang
sah.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan
MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang
berkaitan dengan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya sehingga
tidak menimbulkan pendapat/opini yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak
masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan di masyarakat
dapat terwujud.
* Notaris-PPAT-Pejabat Lelang DKI
Jakarta, Majelis Pengawas Notaris Daerah Jakarta,Dosen Magister Kenotariatan
& Pasca Sarjana Hukum, Dosen Diklat Perbankan/BUMN, Tenaga Profesional
Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI
No comments:
Post a Comment